B-3. REKONSILIASI
DAN RESOLUSI KONFLIK SOSIAL
|
|
Pemantik
|
Nur Khoiron
|
Fasilitator
|
Saiful HS, Murtajib
|
Salah satu
peristiwa yang sampai saat ini menjadi batu sandungan dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara Indonesia adalah peritiwa tahun 1966 atau yang biasa disebut
dengan G 30 S PKI. Akibat konflik sosial dan politik tahun 66 tersebut tidak
hanya dirasakan oleh mereka yang terlibat dalam peristiwa tersebut, tetapi juga
oleh mereka yang sama sekali tidak terlibat, bahkan tidak mengetahuinya sama
sekali.
Mata rantai
duka tersebut harus dihentikan.
Masing-masing pihak harus berrela hati untuk saling memaafkan, bukan
dengan melupakannya, tetapi untuk mengembalikan harkat dan martabat
kemanusiaan, serta menyongsong kehidupan yang lebih bermartabat.
Pemahaman
dan pemakanaan atas konflik sosial merupakan ruang-ruang konstruksi, dimana
pihak pemenang akan cenderung memiliki kesempatan lebih luas untuk “menuturkan”
sesuai sudut pandang dan kepentingannya.
Secara
struktural politik, konflik sosial memiliki dimensi konteks struktur dan
politik. Artinya, konflik sosial sebenarnya dipicu dan dipacu untuk
kepentingan-kepentingan politik tertentu. Dengan menyadari hal tersebut, maka
kita akan mengetahui bahwa semua isu dikemas dalam paradigma untuk mencapai
kepentingannya. Dalam konteks ini, siapa yang benar dan siapa yang salah akan ditentukan
oleh siapa yang berkuasa.
Secara
sosiologi-antropologis, konflik sosial telah menyebabkan keterbelahan
masyarakat. Ada kelompok pemenang yang “memiliki” kebenaran dan kelompok kalah
yang selalu tereksploitasi dan menjadi limpahan dan sasaran kesalahan.
Prinsip yang
harus menjadi dasar rekonsiliasi dan resolusi. Pertama, menghargai ingatan untuk mermuskan keadilan. Kedua, pengakuan dan redistribusi. Ketiga, reparasi. Reparasi terkait
dengan banyak dimensi, seperti sosial, politik, struktur, dan ekonomi. Keempat, keterlibatan dan harapan.
Seluruh proses rekonsiliasi haruslah mendorong semua pihak, baik korban, pelaku
maupun mereka yang berada di antaranya, supaya bisa menjadi warga yang terlibat
aktif di dalam masyarakat. Kelima,
kesadaran akan masa lalu dan masa depan. Rekonsiliasi adalah proses yang
berayun antara ingatan akan masa lalu dan harapan akan masa depan.
Rekonsiliasi
diperlukan dalam tiga ruang, yaitu ruang pribadi, sosial, dan struktur. Pertama, ruang pribadi. Orang perlu
berdamai dengan dirinya sendiri. Ia perlu sadar, bahwa ia perlu berubah, supaya
bisa terus hidup dan berkembang di dalam keadaan yang baru. Kedua, ruang sosial. Setiap orang pun
perlu melakukan rekonsiliasi dengan pihak-pihak lainnya. Ketiga, ruang struktur. Harus ada kesadaran struktural
–negara—untuk juga melakukan rekonsiliasi.
No comments:
Post a Comment