Latest News

PERAN KEMASYARAKATAN NU: PERSOALAN KEUMMATAN DAN ADVOKASI RAKYAT (Bag. B-2)

B-2. POLITIK AGRARIA DAN KONFLIK SDA
Pemantik
Aak Abdullah Kudus
Fasilitator
Nashih Lutfi, Kholid Syaerozi, Roy Murtadho

Di dalam konstitusi dinyatakan secara tegas bahwa cabang-cabang produksi penting yang' 'menguasai' hajat hidup orang banyak serta dipergunakan' sebesar besarnya untuk kemakmuran rakyat.  Pada kenyataannya, sistem perundangan yang ada di bawahnya justru bertentangan dengan bunyi pasal Undang-Undang Dasar tersebut. PP Muhammadiyah menyebut terdapat 115 UU terkait pengelolaan Sumberdaya Alam yang bertetangan dengan konstitusi. Berbagai UU tersebut membuka menjadikan SDA tidak dikuasai oleh negara untuk kemakmuran rakyat, namun dikuasai oleh korporasi untuk kepentingan korporasi itu sendiri.

Pasca otonomi daerah, kewenangan daerah yang lebih besar turut menyumbang makin banyaknya izin pertambangan yang sekaligus membuka munculnya konflik.  Makin banyaknya pertambangan ini bukan hanya mendatangkan kerusakan lingkungan tetapi juga pemiskinan dan krisis lain akibat eksploitasi berlebihan dan tata kelola yang buruk.

Konflik sumber daya alam (SDA) merupakan permasalahan besar yang dihadapai oleh Indonesia dewasa ini.  Di tahun 2013 tercatat setidaknya ada 232 konflik SDA dan agraria di 22 provinsi di Indonesia.  Dari 232 konflik ini 69% melibatkan korporasi.

Konflik SDA dan agraria di Indonesia secara garis besar disebabkan oleh ketimpangan penguasaan atas tanah. Negara dan korporasi memiliki porsi penguasaan atas tanah yang sangat dominan, dibandingkan dengan penguasaan oleh mayoritas masyarakat di sekitar area yang berkonflik. Pada 2012, 64,2 juta hektar tanah (33% dari keseluruhan daratan Indonesia) telah diberikan kepada perusahaan-perusahaan kehutanan, pertambangan gas, mineral, dan batubara berupa izin konsesi.

Pada 2013 di Indonesia konflik berlangsung di 98 kota/kabupaten di 22 provinsi dengan luas area konflik mencapai 2.043.287 hektar atau setara dengan setengah luas provinsi Sumatera Barat.
Konflik kehutanan pada umumnya berakar pada hak penguasaan sepihak pada tanah-tanah yang sebelumnya dikuasai oleh komunitas lokal secara komunal. Di bidang perkebunan akar konflik pada umumnya adalah konversi hutan yang dikelola oleh masyarakat menjadi perkebunan. Di bidang pertambangan, konflik meletus karena komunitas lokal sangat mempertahankan wilayah kelolanya yang dirampas oleh perusahaan melalui izin konsesi tambang, tanpa ada pertimbangan persetujuan dengan dasar informasi tanpa paksaan. Sementara konflik agraria adalah konflik tanah di kawasan non-hutan dan non-kebun yang berakar pada penguasaan tanah.

Sementara itu, pemerintah menggadang-gadang industri ekstaktif SDA 'pilar' penopang pertumbuhan ekonomi. Hal ini bisa dilihat dari, misalnya, perkembangan  izin pinjam pakai kawasan hutan untuk pertambangan yang meningkat secara signifikan. Di tahun 2014 hanya ada 13 unit usaha pertambangan yang mengalihkan fungsi hutan lindung seluas 925 hektar. Namun di tahun 2012 melonjak menjadi 924 unit usaha dengan luas total 6.578.421 hektar. Data Kementrian ESDM November 2012 menyebutkan ada 10.677 Izin Usaha Pertambangan yang tellah diberi sertifukat clean and clear (CnC).

Konflik-konflik pengelolaan SDA ini banyak sekali terjadi di kantong-kantong nahdliyin.  Di dalam banyak kasus SDA, warga NU seringkali menjadi korban langsung.  Ini terjadi misalnya dalam kasus:
-          Luapan Lumpur Lapindo,
-          Penanaman dinamit untuk uji seismik Exxon di Jombang
-          Konflik warga dengan rencana pendirian PLTU di Batang
-          Konflik warga dengan perusahaan migas di Sumenep, Madura.
-          Konflik air antara warga dengan PT Aqua di Klaten,
-          Konflik warga dengan tentara dan tambang pasir besi di Kebumen
-          Konflik warga dengan pabrik semen di Pati
-          Konflik warga dengan pabrik semen di Rembang
-          Konflik warga dengan Chevron di Cirebon
-          Konflik warga dengan penambangan pasir besi di Kulon Progo
-          Konflik warga dengan penambangan emas di Banyuwangi
-          Konflik warga dengan penambangan Batubara di Kalimantan Timur
-          dan masih banyak lagi.

Sayangnya, NU secara kelembagaan (struktural) seringkali abai terhadap masalah ini. Bahkan di sejumlah kasus, para pengurus NU justru tidak melakukan advokasi terhadap warganya. Sikap ini muncul setidaknya diduga karena dua hal.  Pertama, para pengurus NU tidak cukup memahami persoalan eksploitasi SDA berikut dampaknya pada warga nahdliyin. Kedua, para pengurus NU mempunyai hubungan yang terlalu erat dengan pemilik modal atau pejabat pemerintah lokal.

Politik Agraria
Tidak ada yang meragukan peran besar Nahdlatul Ulama  dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat. Perannya terentang semenjak jaringan epistemis ini terbentuk, zaman kolonial, kemerdekaan, Orla, Orba, Reformasi, hingga saat ini. Ekspedisi Pamalaka yang dipimpin Adipati Unus, perlawanan Sultan Ageng Tirtayasa, Perang Jawa, resolusi Jihad hingga rentetan perjuangan melawan colonial Belanda dan Jepang, deklarasi kemerdekaan, penentu dalam Konstituante 1956-1959, penyeimbang dalam Demokrasi Terpimpin, penjaga keseimbangan dalam  konflik ideology tahun 1960-an, kekuatan pemersatu dalam konflik 1966, kekuatan kritis pada Orba, hingga era refomasi, hanyalah sebagian kecil peran kebangsaan yang bisa diuraikan di sini.

Kekuatan NU tersebut juga terefleksikan dalam kekuatan electoral yang teruji secara ilmiah.. Hasil exit poll LP3ES maupun Lembaga Survey Indonesia (LSI) tahun 2009 memperlihatkan bahwa persentase warga NU berada pada rentang 37-41% dari tolal jumlah pemilih. Sementara warga Muhammadiyah berada pada rentang 7-11%. Hasil exit poll Kompas tahun 2014 mengkonfirmasi dan mempertegas kekuatan electoral ini. Bahkan, di perkotaan, daerah di mana dipersepsi sebagai basis organisasi kaum modernis, 58,8% masyarakat mengaku memiliki kedekatan dengan kehidupan keberagamaan ala NU.

Meskipun demikian, peran historis transformasional tersebut mengalami kemerosotan yang luar biasa. Peran kebangsaan NU mengalami deficit sebagaimana tercermin dalam kegagalannya ikut membendung arus besar pelembagaan kebijakan yang semakin jauh dari ruh Proklamasi, Pancasila, Mukaddimah UUD 1945, dan UUD 1945. Peran politik NU juga mengalami kemunduran bukan saja tercermin dalam tercerai berainya kekuatan parlementer dan eksekutif kader NU, namun juga minimnya kontribusi dalam ikut serta menentukan arah pembangunan ekonomi, politik, hokum, sosial, dan kebudayaan bangsa. Peran kerakyatan NU juga terlihat tidak optimal sebagaimana terlihat dalam kegagalannya melindungi dan mengadvokasi kasus-kasus kerakyatan seperti dalam perburuhan, pertanian, pertambangan, eksplotasi sumber daya alam, dan lainnya. Begitu juga dalam peran keagamaannya. Bahkan, dalam ranah ini, muncul dua arus liberalisme keagamaan dan konservatifme keagamaan yang semakin menjauh dari garis aswaja an-nahdliyyah. Pendek kata, kapasitas potensial structural dan kultural yang dimiliki NU tidak sebanding sama sekali dengan peran-peran dan kontribusi konkret dalam kehidupan beragama, berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat.

Oleh karenanya, menjadi penting untuk merevitalisasi kapasitas peran kemasyarakat NU tersebut, terutama terkait dengan isu-isu dan politik agraria.

Isu-isu dan Advokasi Agraria
Melalui Peraturan Presiden Nomor 165 Tahun 2014 Tentang Penataan Tugas Dan Fungsi Kabinet Kerja, Presiden dan Wakil Presiden berkehendak merealisasikan visi dan misinya melalui  sinkronisasi dan harmonisasi beberapa kementerian pada kabinet kerja yang mengalami perubahan. Hal ini tidak bisa dielakkan, mengingat pembentukan dan pengubahan kementerian mengakibatkan terjadinya pergeseran tugas dan fungsi antar kementerian dan lembaga. Perubahan nomenklatur kementerian tidak hanya sekedar berkenaan dengan tugas dan fungsi kementerian berikut struktur organisasinya yang berubah, tetapi juga ‘ruh’, semangat bahkan ideologi dalam penyelenggaraan pemerintahan juga berubah.

Satu kementerian yang menunjukkan hal itu adalah Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional. Berdasarkan Perpres di atas, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN memimpin dan mengkoordinasikanpenyelenggaraan tugas dan fungsi bidang tata ruang yang dilaksanakan oleh Kementerian PU danbidang pertanahan oleh BPN.Hal ini menunjukkan bahwa kementerian ini bukan hanya sekedar merubah BPN menjadi kementerian dan meluaskan lingkup kerjanya, tetapi juga merubah mainstream  ‘pertanahan’ menjadi ‘agraria’ serta melengkapinya dengan tata ruang.

Tampak sekali bahwa kementerian ini berkehendak mengembalikan ‘ruh agraria’ setelah sekian lama tereduksi hanya sebatas ‘pertanahan’, itupun hanya diluar kawasan hutan. Padahal konstitusi kita -UUD 1945- Pasal 33 ayat (3) mengamanatkan  bahwa “bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya  dikuasai oleh Negara dan dimanfaatkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Pasal tersebut  intinya mengatur penguasaan negara atas sumberdaya  agraria serta menentukan tujuan yang hendak dicapai dalam pengelolaan sumberdaya agraria, mewujudkan sebesar-besarnya  bagi  kemakmuran  rakyat. Inilah barangkali yang disebut sebagai Revolusi Mental dalam pengelolaan agraria dan sumberdaya alam di Indonesia, tidak hanya terbatas tanah tetapi bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, termasuk kawasan kehutanan dan pertambangan yang selama ini di luar otoritas pertanahan.

Selain itu juga dapat dibaca bahwa pembentukan kementerian ini merupakan salah satu upaya mewujudkan visi misi presiden menuju Indonesia berdaulat, mandiri, dan berkepribadian melalui pengelolaan bidang keagrariaan. Sembilan Agenda Prioritas (Nawacita) yang dicita-citakan oleh Jokowi – JK, tiga di antaranya bertautan sangat kuat dengan bidang keagrariaan, yakni: (1) memberikan jaminan kepastian hukum hak kepemilikan atas tanah, penyelesaian sengketa tanah dan menentang kriminalisasi penuntutan kembali hak tanah masyarakat; (2) peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan mendorong landreform dan program kepemilikan tanah seluas 9 juta hektar; serta (3)  mewujudkan kedaulatan pangan melalui perbaikan jaringan irigasi dan pembukaan 1 juta hektar sawah baru.

Persoalannya adalah, berbagai problem keagrariaan-pertanahan hingga saat ini masih menggelayuti negeri ini, seperti:  (a) tumpang tindihnya peraturan perundang-undangan di bidang keagrariaan; (b) terbatasnya akses masyarakat terhadap sumberdaya agraria; (c) belum terwujudnya pendaftaran tanah secara menyeluruh di wilayah Indonesia; (d) lambatnya penyelesaian konflik, sengketa dan perkara agraria; (e) belum memadainya perlindungan terhadap hak-hak atas tanah dan hutan bagi masyarakat, termasuk masyarakat hukum adat; (f) belum tersedianya peta tunggal untuk mewujudkan visi one map on policy; (g) belum sinkronnya pemberian hak atas tanah dan sumberdaya agraria dengan kebijakan tata ruang; (h) masih tingginya angka kemiskinan, terutama masyarakat pedesaan.

Disisi lain, terbitnya UU Nomor 6/2014 tentang Desa memberikan nilai produktif bagi desa dan masyarakat desa di seluruh Indonesia untuk meningkatkan kesejahteraan adalah: (1) UUDesa terlahir melalui proses panjang yang tidak hanya dibicarakan oleh pemerintah dan DPR, melainkan melibatkan masyarakat desa, aktivis & pegiat desa, masyarakat adat, pemerintah kab/kota dan pihak-pihak yang memiliki kepedulian terhadap masa depan desa dan masa depan NKRI; (2) UUDesa ini menempatkan desa sebagai subjek yang mempunyai otoritas dalam kebijakan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan dengan memanfaatkan aset desa serta alokasi anggaran dari APBN maupun APBD; (3) Spirit UUDesa adalah pengakuan dan penghormatan bagi desa atas penguasaan dan pengelolaan aset desa yang diorientasi untuk kepentingan desa dan kesejahteraan warganya, maka pengembalian aset-aset desa yang selama ini dikuasai oleh institusi supradesa adalah sebuah keharusan; (4) penguatan kapasitas desa melalui upaya-upaya pemberdayaan agar desa lebih mandiri dan sejahtera dengan tetap taat azas adalah tanggungjawab kita bersama.

Dengan cara berpikir di atas, UU Desa menjadi sangat penting bagi NU, mengingat warga NU mayoritas adalah penduduk perdesaan yang penghidupannya banyak tergantung pada sumberdaya agrarian/pertanahan (land based). Berkenaan dengan tersebut, NU sebagai sebuah organisasi sosial keagamaan yang lahir untuk berkhidmat pada NKRI menuju terwujudnya masyarakat yang demokratis, adil, makmur dan sejahtera berdasarkan ajaran Islam Ahlussunnah wal jama’ah, harus berperan aktif dalam penyelesaian persoalan agraria/pertanahan di atas. Berbagai agenda strategis dapat dimainkan oleh NU, yang juga in line dengan salah satu visi pemerintahan (Nawacita) sekaligus menguatkan tradisi NU dalam pemberdayaan masyarakat.

Pertanyaan Pemandu Diskusi

Konflik SDA
1.      Bagaimana seharusnya sikap dan tindakan NU secara kelembagaan terhadap berbagai perundangan tata kelola SDA yang tidak sejalan dengan konstitusi?
2.      Masalah-masalah apa saja yang terjadi di dalam tubuh NU di dalam konflik SDA ini?
3.      Bagaimana strategi mendorong organisasi NU untuk melakukan advokasi terhadap warga nahdliyin yang menjadi korban eksploitasi SDA?
4.      Secara ideal, apa yang seharusnya dilakukan NU (baik pusat maupun darah) dalam menghadapi berbagai konflik SDA yang menempatkan warga nahdliyin sebagai korban?

Konflik Agraria
5.      Bagaimanakah strategi NU harus mengawal pelaksanaan reforma agraria melalui pelaksanaan Undang-Undang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, yaitu realisasi redistribusi tanah negara kepada petani kecil dan petani tak bertanah, dan pelaksanaan Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batu Bara, yaitu penyelesaian renegosiasi kontrak pertambangan agar terjadi optimalisasi penerimaan negara dan pertambangan bisa dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
6.      Banyak petani menjadi korban konflik agraria, di mana ada banyak konflik agraria tersebut merupakan warisan masa lalu, bagaimana caranya NU untuk mendorong pemerintah mengeluarkan kebijakan khusus dalam rangka penyelesaian konflik agraria dan pemulihan hak korban. Upaya-upaya penyelesaian konflik agraria juga seharusnya menjadi tanggungjawab para kepala daerah.
7.      Bagaimana strategi mendorong pemerintah untuk segera menjalankan agenda reforma agraria yang mencakup proses yang berkesinambungan berkenaandengan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan sumberdaya agraria, dilaksanakan dalam rangka tercapainya kepastian dan perlindungan hukum serta keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia;
8.      Bagaimanakah stratgei mendorong partisipasi aktif membantu penyelesaian sengketa dan konflik agrarian/pertanahan yang kondisinya sudah semakin kronis;
9.      Bagaimanakah strategi Mendorong pemerintah dan pemerintah daerah untuk mengendalikan alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian secara ketat dan tegas agar ketersediaan lahan pertanian mampu mendukung terwujudnya kedaulatan pangan secara nasional
Bagaimanakah strategi mengawal pemberlakuan UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa agar benar-benar diorientasikan untuk kesejahteraan masyarakat dan kemandirian desa.

No comments:

Post a Comment

kaum muda nu Designed by Templateism.com Copyright © 2014

Powered by Blogger.