Latest News

PERAN KEMASYARAKATAN NU: PERSOALAN KEUMMATAN DAN ADVOKASI RAKYAT (Bag. B-4)

B-4. POLITIK DAN DEMOKRASI
Pemantik
Abdur Rozaki
Fasilitator
Andre Dewanto, Alfu Niam,  A. Rumadi
Pengantar
Tidak ada yang meragukan peran besar Nahdlatul Ulama  dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat. Perannya terentang semenjak jaringan epistemis ini terbentuk, zaman kolonial, kemerdekaan, Orla, Orba, Reformasi, hingga saat ini. Ekspedisi Pamalaka yang dipimpin Adipati Unus, perlawanan Sultan Ageng Tirtayasa, Perang Jawa, resolusi Jihad hingga rentetan perjuangan melawan colonial Belanda dan Jepang, deklarasi kemerdekaan, penentu dalam Konstituante 1956-1959, penyeimbang dalam Demokrasi Terpimpin, penjaga keseimbangan dalam  konflik ideology tahun 1960-an, kekuatan pemersatu dalam konflik 1966, kekuatan kritis pada Orba, hingga era refomasi, hanyalah sebagian kecil peran kebangsaan yang bisa diuraikan di sini.

Kekuatan NU tersebut juga terefleksikan dalam kekuatan electoral yang teruji secara ilmiah.. Hasil exit poll LP3ES maupun Lembaga Survey Indonesia (LSI) tahun 2009 memperlihatkan bahwa persentase warga NU berada pada rentang 37-41% dari tolal jumlah pemilih. Sementara warga Muhammadiyah berada pada rentang 7-11%. Hasil exit poll Kompas tahun 2014 mengkonfirmasi dan mempertegas kekuatan electoral ini. Bahkan, di perkotaan, daerah di mana dipersepsi sebagai basis organisasi kaum modernis, 58,8% masyarakat mengaku memiliki kedekatan dengan kehidupan keberagamaan ala NU.

Meskipun demikian, peran historis transformasional tersebut mengalami kemerosotan yang luar biasa. Peran kebangsaan NU mengalami deficit sebagaimana tercermin dalam kegagalannya ikut membendung arus besar pelembagaan kebijakan yang semakin jauh dari ruh Proklamasi, Pancasila, Mukaddimah UUD 1945, dan UUD 1945. Peran politik NU juga mengalami kemunduran bukan saja tercermin dalam tercerai berainya kekuatan parlementer dan eksekutif kader NU, namun juga minimnya kontribusi dalam ikut serta menentukan arah pembangunan ekonomi, politik, hokum, sosial, dan kebudayaan bangsa. Peran kerakyatan NU juga terlihat tidak optimal sebagaimana terlihat dalam kegagalannya melindungi dan mengadvokasi kasus-kasus kerakyatan seperti dalam perburuhan, pertanian, pertambangan, eksplotasi sumber daya alam, dan lainnya. Begitu juga dalam peran keagamaannya. Bahkan, dalam ranah ini, muncul dua arus liberalisme keagamaan dan konservatifme keagamaan yang semakin menjauh dari garis aswaja an-nahdliyyah. Pendek kata, kapasitas potensial structural dan kultural yang dimiliki NU tidak sebanding sama sekali dengan peran-peran dan kontribusi konkret dalam kehidupan beragama, berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat.

Oleh karenanya, menjadi penting untuk merevitalisasi kapasitas peran kemasyarakatan  NU tersebut terutama dalam konteks politik. Secara lebih detail, fenomena di atas setidaknya ditandai oleh 1) eksistensi peran kelembagaan NU yang semakin meredup di berbagai daerah; 2) politisasi jabatan structural NU sehingga menjadi arena perebutan dan pertarungan politik antar-aktor yang berbasis interes; 3) kian jauhnya generasi muda nahdliyyin dari NU karena dominasi dan hegemoni kekuatan tertentu dalam NU; 4) tidak adanya panduan dan arahan dari pusat dalam konstelasi pertarungan nasional, sehingga 5) kader-kader nahdliyyin dibiarkan bertarung sendiri yang menghabiskan energy untuk persoalan internal.

Tantangan Politik
Tantangan politik global ini dapat digambarkan dalam tiga hal. Pertama, munculnya berbagai gagasan dan institusi-instutusi supranegara atau global (global governance), yang mereduksi secara signifikan kedaulatan negara-bangsa. Secara paradigmatik, ideologi global saat ini diarusutamai oleh apa yang disebut dengan globalisme, neoliberalisme, maupun Chicago School. Gagasan pokok pemikiran yang mencuat sejak krisis minyak dekade 70-an ini memberi tekanan yang kuat pada pasar bebas, laisses-faire, pengurangan intervensi pemerintah sampai pada titik minimal, perdagangan bebas, dan penguatan hak-hak individualistik.  Gagasan tersebut digerakkan melalui berbagai lembaga internasional yang dikemudian hari menghasilkan konstruksi realitas yang disebut dengan global-governance. Beberapa organisasi internasional di bawah PBB, G20, IMF, Bank Dunia, Club of Rome, Bilderbergers, adalah sebagian di antara lembaga-lembaga yang menyokong global governance.

Kedua, pergeseran konstelasi global yang menciptakan berbagai peluang global. Secara geopolitik, telah terjadi pergeseran peta global dari bipolar menuju multipolar. Pusat kekuatan dunia tidak lagi di satu negara,  namun di berbagai belahan dunia lain.  Muncul China, India, Brasil, Rusia, negara-negara Eropa yang mewarisi semangat Pax Romana, negara-negara Latin,  dan lainnya. Negara-negara Afrika ke depan diprediksikan juga akan menjadi salah satu sentrum kekuatan dunia jika berhasil mengkonsolidasikan dirinya. Indonesia, dengan potensi penduduk yang melimpah, sumber daya alam yang melimpah, posisi geopolitik dan geoekonomi yang strategis, juga memiliki semua persyaratan yang dibutuhkan untuk menjadi salah satu kekuatan global.

Ketiga, kedua fenomena di atas melahirkan tantangan dan peluang global. Tantangan globalnya di antaranya adalah melemahnya peran negara-bangsa atau NKRI sebab sebagian besar fungsinya telah diambil alih oleh lembaga-lembaga global. Berbagai kebijakan nasional yang berakar pada arus struktural global seperti liberalisasi merefleksikan terjadinya pergeseran lokus kebangsaan dan kerakyatan kita. Ketergantungan politik terhadap kapitalisme global, politik yang memisahkan antara rakyat dan negara, otonomi daerah yang berlebihan, merupakan tantangan global yang harus dicermati oleh dunia perguruan tinggi.   Lebih dari itu, secara normatif, politik nasional dituntut mengembangkan demokrasi yang substansial, demokrasi yang menyejahterakan, demokrasi yang tidak menceraikan antara rakyat dan pemerintah, demokrasi yang menghasilkan birokrasi yang berorientasi pada public services, demokrasi yang menghasilkan pemerintah yang akuntable dan responsif, dan demokrasi yang berbasis pada nilai lokal. Konflik politik, salah satunya  berakar pada kegagalan kita menerjemahkan demokrasi yang berasal dari rahim sosial Barat dalam tradisi sosiokultural kita di satu sisi, dan di sisi lain kegagapan kita melakukan kontekstualisasi orde-tradisi kita dalam tata kelola sistem modern.

Isu-isu Strategis
Dalam konteks politik NU berpegang kepada khittah 1926, namun dalam praktiknya, khittah ini dimaknai secara beragam dan semaunya. Paradigma siyasah samiyah (politik tinggi) yang dibangun oleh PBNU membutuhkan kontekstualisasi dalam konteks kerakyatan, kebangsaan, dan keislaman. Bagaimana menerjemahkan politik kebangsaan NU untuk mwujudukan maqoshid syariah dalam bingkai NKRI? Meski NU tidak boleh berpolitik praktis secara kelembagaan, namun NU tetap harus mengambil peran dalam politik kebangsaan.

NU sebagai ormas terbesar di Indonesia memiliki posisi dan peran yang strategis dalam konteks kebangsaan dan kenegaraan, maka dari itu NU harus benar-benar hadir saat masyarakat dan bangsa menghadapi masalah/tantangan. Gagasan PBNU memiliki desk khusus yang membidangi advokasi kebijakan politik menjadi layak didalami lebih lanjut.

Ketidakjelasan relasi NU-Parpol selama ini memberi kontribusi melemahnya peran politik politik kebangsaan NU. Dalam realitas, NU selalu menjadi jaringan penangguk suara, namun di sisi lain, partai-partai yang melakukan pembasisan di basis-basis NU tidak selalu bahkan hampir tidak pernah melakukan konsultasi terkait dengan kebijakan publik.

Pertanyaan Pemandu Diskusi
Maka, menjadi penting untuk mendiskusikan:
·         Bagaimana NU dapat mengarus-utamai berbagai kebijakan publik sesuai dengan nilai-nilai maqoshid syari’ah an-nahdliyyah?
·         Bagaimana strategi penguatan kesadaran politik yang kritis di kalangan warga, pengurus, dan pegiat politik NU?
Bagaimana strategi membangun komunikasi dan instrument agregiasi aspirasi masyarakat bawah dan menghubungkan dengan kekuatan parlemen dan eksekutif?

No comments:

Post a Comment

kaum muda nu Designed by Templateism.com Copyright © 2014

Powered by Blogger.