Latest News

INSTITUTIONAL BUILDING DAN TATA KELOLA ORGANISASI NU (Bag. C-3)

C-3. PELAYANAN DAN PENGEMBANGAN PENDIDIKAN FORMAL
Pemantik
LP. Maarif, Maya Dina, Prof. Dr. Abdul A’la
Fasilitator
Mustofa, Asman Aziz, Ali Formen

Konteks Global
Sejarah pendidikan mencatat paling tidak empat bentuk dan transformasi orientasi pendidikan: orientasi pendidikan yang mencari kebenaran hakiki; pendidikan untuk mengabdi pada kepentingan publik, keutamaan publik (civic virtue); pendidikan sebagai bagian dari industrialisme; dan pendidikan dalam era globalisame di mana pendidikan bergerak dalam pusaran komoditas dan jasa yang dikomersialkan.

Pertama, pendidikan untuk mencari kebenaran hakiki. Dalam abad pertengahan, filsafat diabdikan untuk kepentingan teologi (philosophia ancilla res theologia). Meskipun demikian, banyak pemikir dan filsuf yang meletakkan rasio secara otonom, tidak di bawah teks. Tradisi ini di kemudian hari menghasilkan sejarah filsafat yang disebut dengan skolastik.  Atmosfer akademik yang terbangun adalah semangat mencari kebenaran yang dilakukan secara sistematik untuk memenuhi syarat menjadi master atau pendidik. Harvard University, misalnya, memiliki logo kampus veritas (kebenaran). Ini adalah pengaruh nyata tradisi skolastik terhadap universitas. Proses pencarian kebenaran ini mengalami pertumbuhan signifikan mulai abad ke-16 dan ke-17 yang ditandai menguatnya metode empiris dan eksperimental.

Kedua, tradisi pendidikan yang diorientasikan untuk mengabdi pada kepentingan publik dan keutamaan publik (public virtue). Tradisi ini dikembangkan oleh kaum humanis yang dilahirkan era renaissance (pencerahan). Dalam sejarah pengetahuan, era ini ditandai dengan maraknya kajian kembali ke retorika, seni, dan bahasa, serta orientasi pendidikan untuk pelayanan publik  atau humanisme.

Ketiga, pendidikan sebagai pilar industrialisme.  Aufklarung dan renaissance  yang di level epistemologis menghasilkan rasionalisme, di level politik kelak mentransformasikan format politik kerajaan menjadi negara-bangsa, di level realitas ekonomi menghasilkan industrialisme yang dimulai paruh pertama abad ke-19. Aufklarung dan renaisans yang berhasil membongkar otoritas agama atas rasio di Barat kemudian melahirkan sekaligus mengiringi perkembangan formasi sosial kapitalisme.  Ideology ini secara perlahan membongkar kebudayaan yang diageni negara sebagai aktor tunggal dan nalar masyarakat yang dibelenggu kultur feodalistik yang dianggap menghancurkan kreativitas dan kebebasan berpikir, menghambat laju ekonomi,  dan menyuburkan KKN.  Dipantik oleh gagasan liberalisme yang hendak menempatkan negara sesuai kewenangannya, terjadilah proses denegaranisasi. Negara dipinggirkan sebagai agen sosial, ekonomi, politik, dan budaya. Keagenan negara diganti oleh kekuatan yang disebut Adam Smith sebagai “invisible hand.”   Transformasi ini berjalan dalam tiga level: level politik kewenangan negara  ditransformasikan menjadi institusi penegak supremasi hukum, pada level ekonomi diserahkan pada mekanisme pasar yang melahirkan industrialisasi awal, sedangkan pada level  budaya, paternalisme feudal  didekonstruksi menjadi kultur individualisme.  Jika disingkat, perubahan sosial ini bertumpu pada dorongan industrialisme, individualisme, dan rasionalisme, yang ditopang oleh infrastruktur pendidikan.

Keempat, pendidikan mulai masuk dalam pusaran komoditas dan jasa yang dikomersialikan dalam era globalisasi. Pendidikan mulai masuk dalam integrasi sistem kapitalisme global dimulai sejak putaran uruguay(Uruguay’s Round). Putaran Uruguay merupakan cikal bakal GATs (general agreements on trade in services) yang mendorong liberalisasi perdagangan global, dan bertransformasi menjadi organisasi perdagangan terbesar dunia, WTO (World Trade Organization).  WTO merupakan salah satu institusi global yang mendorong globalisasi sektor finansial, perdagangan, dan jasa. Tujuan akhirnya adalah terciptanya sistem ekonomi global yang mengintegrasikan semua ekonomi lokal dan nasional dalam pusaran kapitalisme global. Pendidikan oleh WTO dianggap sebagai bagian dari jasa, yang karenanya  dapat diperdagangkan (tradeable). Karena bagian dari jasa, maka pendidikan menjadi entitas yang harus diliberalisasikan (privatisasi, swastanisasi), agar modal luar negeri dapat masuk untuk atau menanamkan investasi dalam dunia pendidikan tinggi. Sebagai konsekuensinya, negara mengurangi proteksinya dan tanggung jawab finansialnya dalam memenuhi hak-hak pendidikan warga negara.

WTO sendiri telah mengidentifikasi empat modus penyediaan jasa pendidikan, yakni: (1) Cross-border supply, institusi pendidikan tinggi luar negeri menawarkan kuliah-kuliah melalui internet dan online degree program, atau mode-1; (2) Consumtion abroad, yakni bentuk penyediaan jasa pendidikan tinggi yang paling dominan, mahasiswa belajar di perguruan tinggi luar negeri, disebut mode-2; (3) Commercial presence, atau kehadiran perguruan tinggi luar negeri dengan membentuk partnership, subsidiary, twinning arrangement dengan perguruan tinggi lokal, atau mode-3; (4) Presence of natural persons, dosen atau pengajar asing mengajar pada lembaga pendidikan lokal, atau mode-4.  Liberalisasi perguruan tinggi menuju perdagangan bebas sektor jasa yang dipromosikan oleh WTO adalah untuk mendorong agar pemerintah negara-negara anggota tidak menghambat empat mode penyediaan jasa tersebut dengan kebijakan-kebijakan intervensionis.

Liberalisasi pendidikan tersebut di Eropa tersebut mendorong terjadinya restrukturisasi pendidikan tinggi yang didorong oleh empat stimulus dasar (Jurgen Rosemann & Andrea Peresthu, 2004).  Pertama, transformasi aktivitas industri (sector sekunder) menuju sektor tersier  membutuhkan bukan hanya kualifikasi tenaga kerja yang terampil, tapi  menguasai sistem teknologi baru yang dipakai secara luas dunia profesional. Penguasaan teknologi ini penting untuk mempercepat pengambilan keputusan dengan akurasi tinggi. Kedua, Proses neoliberalisasi telah meningkatkan mobilitas pasar tenaga kerja yang berkualitas. Gejala ini telah meningkatkan kompetisi tenaga kerja luar biasa. Ketiga, bersatunya kekuatan ekonomi dan politik  Eropa meningkatkan arus kerja sama dalam berbagai bidang.  Pendidikan akan menjadi jantung berkelas dunia untuk inovasi-inovasi ekonomi, social, dan politik.  Keempat, proses neoliberalisasi berdampak pada menurunnya peran nation-state yang pada gilirannya mengurangi investasi sektor-sektor strategis jangka panjang seperti pendidikan, kesehatan, perumahan, dan sistem pensiun. Proses tersebut mendorong pendidikan di Eropa semakin kian terprivatisasi, hingga menuju proses individualisasi.
Konteks NU
Dari uraian di atas jelas, tantangan pendidikan di NU dalam konstelasi global, di mana bukan hanya terkait dalam mewujudkan kualitas pendidikan berkelas dunia, memenuhi hak konstitusional warga negara terutama hak pendidikan yang bermutu, pusat riset strategis, namun juga berkompetisi dengan pendidikan luar negeri yang melakukan penetrasi pasar pendidikan nasional.

Pada sisi lain, terjadi dua alur perkembangan sekaligus dalam dunia pendidikan NU. Pertama, transfomasi pendidikan pesantren menjadi pendidikan formal. Transformasi  ini mengambil  tiga bentuk: transformasi kelembagaan total dari pesantren menjadi pendidikan formal; mengembangkan pendidikan formal dengan tetap  mempertanahkan system pendidikan pesantren salah (dual-system); melakukan kombinasi atau integrase antara pendidikan formal dengan pesantren. Kedua, timbuhnya secara cepat institusi-institusi pendidikan formal di bawah maarif, yayasan, atau per-orangan.

Sementara itu, secara internal, institusi pendidikan di NU juga dihadapkan oleh tiga problem dasar ini: akses, kualitas, relevansi. Sejumlah skema dan kebijakan telah disediakan, meskipun kontribusi tiap-tiap skema tersebut pada penuntasan masalah yang ada masih memerlukan diskusi yang lebih komprehensif.

a.      Akses
Pada persoalan akses, program andalan pemerintah adalah perluasan, utamanya dengan penyediaan atau fasilitasi tumbuhnya sarana-sarana pendidikan baru. Supporting system pada skema ini adalah pemberian block grant atau dana inisiasi, khususnya untuk jenjang pendidikan prasekolah. Pendekatan ini hampir selalu dapat ditebak, memiliki tingkat sutainabilitas yang rendah, segera setelah periode block grant berakhir, berakhir pula intitusi-intitusi rintisan yang dibiayai. Akses pada jenjang pendidikan dasar (MI-MTs-MA/SD-SMP-SMA) dapat dikatakan tidak lagi menjadi kendala, secara nasional. Inpres pendidikan dasar pada masa Orde Baru dapat dikatakan membantu peningkatan akses. Namun, diskripansi antar daerah sangatlah nyata, sejumlah daerah menikmati kemudahan dalam “riil” akses dengan dukungan infrastruktur yang memadai, sementara kawasan lain tidak memiliki dukungan infrastruktur yang memungkinkan kemudahan akses. Tren yang sama juga terjadi pada jenjang pendidikan menengah. Dengan demikian isu utama pada dua jenjang pendidikan di NU ini adalah “kepastian kesetaraan akses untuk semua wilayah secara nasional”.

Akses pada jenjang pendidikan tinggi juga kian meningkat. Pemerintah tampaknya mereplikasi model block grant, yang diwujudkan melalui skema antara lain, pembukaan institusi baru dan pe-negeri-an PT swasta. Langkah lain yang ditempuh adalah penambahan dan pembukaan program-program studi baru. Kendala klasik akses pada jenjang pendidikan tinggi adalah biaya, dan untuk itu setidaknya sejak 2009 pemerintah meluncurkan beasiswa khusus masyarakat miskin, Bidikmisi. Bila tren ini dapat dijaga, dapat dipastikan akses pada jenjang pendidikan tidak akan menjadi kendala.


b.     Kualitas
Kualitas menjadi isu penting pendidikan NU pada semua jenjang. Ini terjadi karena meskipun sejumah standar yang dipercaya sebagai indikator kualitas telah tersedia untuk tiap jenjang pendidikan secara nasional, konsep ‘kualitas’ dimaknai secara beragam. Kualitas dapat mengaju pada masukan (input/structure), proses, luaran (output), dan dampak positif (outcome). Pada praktik sehari-hari masyarakat mengharapkan dampak pendidikan (outcome) namun “teknologi kualitas” yang dimiliki sistem pendidikan tampaknya hanya dapat menjangkau output, itu pun masih dengan banyak catatan. Tentu saja peningkatan kualitas ini harus dilakukan secara sistematis dengan mengidentifikasi secara tepat lokasi masalah apakah pada sisi input/struktur, proses, ataukah output/outcomes. Lebih dari itu, ‘kualitas’ sebagai sebuah konsep haruslah dielaborasi dan didefinisikan secara memadai.

c.      Relevansi
Relevansi juga menjadi isu pada dan antar jenjang pendidikan. Relevansi dapat dibedakan menjadi dua kategori, relevansi antara jenjang pendidikan dan relevansi antara pengalaman pendidikan dengan “dunia riil”. Yang pertama menyangkut relevansi pengalaman belajar pada antara satu jenjang pedidikan dengan jenjang setelahnya, misalnya antara pengalaman belajar prasekolah dengan pengalaman belajar pada jenjang sekolah dasar, demikian seterusnya. Yang kedua menyangkut relevansi pengalaman belajar formal dengan dunia riil. Yang kedua ini acapkali diasosiasikan sebagai relevansi antara dunia pendidikan dengan dunia kerja. Asosiasi ini tidak sepenuhnya keliru, namun asumsi yang mendasarinya tampak terbatas pada jenjang-jenjang pendidikan yang membekali peserta didik dengan keterampilan vokasional-profesional. Oleh karena itu, perlu dipikirkan pula relevansi pendidikan dalam konteks (1) dunia sehari-hari peserta didik, atau dengan kata lain, relevansi juga mencakupi pula keandalan pengalaman belajar dalam membantu dan memfasilitasi peserta didik untuk memecahkan persoalan sehari-hari;  (2)  dalam konteks perwujudan masholihul-ammah atau maqoshid syariah. Pada level yang kedua ini, kualitas pendidikan ditentukan dalam kontribusinya mewujudkan masholih. Isu relevansi amat erat kaitannya dengan kurikulum, karena kurikulumlah yang menjadi jembatan antara pengalaman belajar dengan dunia “riil”. Dengan kata lain semakin kurikulum mampu merepresentasikan dunia “riil” semakin besar peluang sistem pendidikan pelaksananya relevan. Tetapi dunia “riil” di sini juga tidak dapat dipahami sebagai semata-mata dunia here-and-now melaikan juga dunia dalam imajinasi (imagined future), yang tidak jarang bersifat dinamis. Sebuah konstruksi masa depan yang saat ini tengah diperjuangkan, boleh jadi segera menjadi masa depan bekas (used future) bahkan sebelum ia dapat dicapai. Dalam konteks ini, relevansi dan kurikulum juga harus diberikan atribut ‘prediktif’.

Pertanyaan Pemandu Diskusi
a.       Bagaimana arah dan orientasi pendidikan NU ke depan? Apakah karakteristik khas dari pendidikan NU
b.      Bagaimanakah konsep manajemen pengelolaan pendidikan NU? Bagaimanakah manajemen keuangan pendidikan NU? Bagaimanakah system pembelajaran di pendidikan NU
c.       Bagaimanakah strategi Memiliki mekanisme pengendalian mutu guru dan memiliki program peningkatan kualitas guru secara sistemik menyelenggarakan training rutin, up grading pendidikan, mengirim ke pelatihan, atau menyekolahkan keluar negeri.
d.      NU perlu memikirkan unit khusus yang menyediakan dan atau memberikan layanan pengembangan guru/dosen. Unit bertanggung jawab merumuskan muatan standar tambahan yang menjadi ciri khas guru/dosen NU yang melampaui standar minimal yang ditetapkan pemerintah
e.       NU semestinya merumuskan ethical stance bagi lapangan profesi pendidik misalnya “hanya mereka yang memiliki orientasi keadilan sosial yang dapat mengajr” (only those with disposition of social justice can teach).
f.        Ethical stance dan positioning ini meniscayakan dua kebutuhan internal NU, yaitu audit ideologi/perspektif dan pengayaan; artinya NU perlu secara reguler melakukan sejumlah mekanisme yang memungkinkan audit perspektif para guru dan pendidik pada umumnya, yang hasilnya dapat menjadi bahan pengayaan dan pengembangan.
NU perlu memanfaatkan sumber-sumber strategis yang dikelola pemerintah dalam pengadaan dan pengembangan guru/dosen, dan memanfaatkan sumber-sumber ini sebagai bagian integral kaderisasi nahdliyyin; namun demikian NU perlu pula menyediakan mekanisme yang memungkinkan keterjagaan dan perkembangan identitas nahdliyyah mereka. 

No comments:

Post a Comment

kaum muda nu Designed by Templateism.com Copyright © 2014

Powered by Blogger.