|
C-5.
PENGEMBANGAN
KEORGANISASIAN NU DI LUAR JAWA
|
|
|
Pemantik
|
Khoirul Anam HS, Masnun Tahir
|
|
Fasilitator
|
Hairus Salim HS, Jibril FM,
Syamsu Rizal (Ijal Batigol)
|
Ada banyak kesan bahwa NU adalah organisasi
Islam Jawa. Bukan semata karena pendukungnya kebanyakan di Jawa, tapi juga
karena pandangan-pandangannya yang sangat dipengaruhi oleh budaya Jawa, Kesan
dan pandangan ini dipatrikan bahkan dalam sejumlah karya ilmiah.
Kesan ini bisa jadi benar, tapi bisa jadi
juga keliru. Benar, karena pada kenyataannya, memang di luar Jawa sangat
sedikit sekali “NU” dan sulit sekali mencari ada organisasi NU, lebih dari
sekadar ‘papan nama.’ Keliru, karena pada hakikatnya ajaran aswaja seperti yang
dianut NU sangat umum dan tersebar luas di Nusantara. Dalam pengajaran di
pesantren bahkan ditemukan banyaknya kesejajaran kitab-kitab yang diajarkan di
pesantren Jawa maupun pesantren luar Jawa, atau Nusantara umumnya.
Kendati demikian, mengapa NU di Jawa tidak
begitu berkembang dan kesan NU sebagai “Jawa’ sangat kuat?
Pertama, ini mungkin berasal dari faktor
historis, di mana NU diperkenalkan pada akhir 1950an sebagai sebuah ‘partai’.
Ketika NU sudah tidak lagi menjadi partai melalui pernyataannya kembali ke
khittah 26, maka sirna jugalah NU tersebut. Atau ia muncul berupa politik atau
politisi.
Kedua, pada era Orde Baru, persebaran NU
lahir dari konsekuensi logis dari program transmigrasi orang-orang Jawa dan
Madura, baik dari transmigrasi pemerintah maupun transmigrasi spontan.
Persebaran ini kemudian menjadi kendala karena ia terbatas hanya di kalangan
orang Jawa atau Madura saja di satu sisi, dan dan di sisi lain, terhalang
pandangan orang setempat terhadap pendatang, khususnya transmigran. Masalah ini
menjadi kian rumit dalam konteks daerah-daerah bermasalah seperti Aceh atau
Papua.
Dengan hanya bersandar pada proses
‘kebetulan’, tanpa pengorganisasian yang jelas, maka memang tak mudah
mengharapkan perkembangan NU yang kuat di luar Jawa.
Di luar itu, ada lagi satu kendala –tapi bisa
jadi juga dukungan— yaitu di luar Jawa ini sudah ada organisasi-organisasi
berorientasi ahlusssunnah wal jamaah seperti NU-- seperti Nahdlatul Watan (NW)
di NTB, Al-Wasliyah dan Perti di Sumatera, Al-Khairat di Palu atau DDI (Darud
Dakwah wal Irsyad) di Sulawesi- Selatan. Artinya bisa jadi tidak perlu lagi ada
NU, karena organisasi-organisasi tersebut sudah memenuhi aspirasi dan inspirasi
ajaran aswaja NU.
Apapun juga penting membicarakan masalah
pengembangan NU di luar Jawa, dalam arti pengembangan budaya organisasi, dengan
mempertimbangkan latar belakang di atas. Memang ada kesamaan ajaran antara
“kalangan Islam tradisi” di Jawa maupun di luar Jawa, seperti yang hendak
dilipat dan dikunci dalam istilah “Islam Nusantara”, tetapi bagaimana pun
terdapat perbedaan budaya antara keduanya. Sebagai contoh saja, di kalangan
Islam tradisi di luar Jawa tak ada dan tak dikenal istilah ‘gus’ dan pesantren
tidak dimiliki secara perorangan. Mungkin lebih banyak lagi perbedaan-perbedaan,
di samping kesamaan-kesamaan yang selama ini dikenal.
Singkatnya penting
suatu perencanaan pengembangan NU: pertama, dengan membangun budaya organisasi,
kedua: dengan mempertimbangkan pandangan-pandangan lokal yang sesuai, bukan
dari pandangan Jawa. Dan lain-lain.
No comments:
Post a Comment