A-5.
REVITALISASI
SENI, TRADISI , DAN HERITAGE
|
|
Pemantik
|
Hairus Salim HS, Bisri Effendy
|
Fasilitator
|
Heru Prasetia, Jay, Abdullah
Muafa
|
Dalam hal seni, tradisi, dan warisan budaya ada prinsip
dasar yang selama ini diyakini dipakai oleh para ulama NU, yakni al muhafadhatu ‘ala qodimish sholih wal ahdu
bil jadidil ashlah. Oleh sebab itu selalu dibutuhkan proses pendefinisian
dan pemaknaan secara terus menerus (kontekstualisasi) terhadap tradisi, dan
tidak berhenti pada ritus yang kosong, kering dan tidak memiliki dampak sosial.
Secara
faktual dan historis, NU mempunyai khazanah yang sangat kaya akan tradisi dan warisan budaya. Dalam
hal pandagan terhadap kesenian dan tradisi, warga NU dianggap mempunyai
pandangan dan sikap yang lebih terbuka. Keterbukaan ini berbuah pada begitu
banyaknya khazanah seni dan tradisi yang sangat erat dengan kehidupan warga
nahdliyin. Kesenian lokal dan tradisi
diolah dan dimunculkan kembali sebagai suatu bentuk ekspresi kebudayaan yang
baru tanpa harus takut dianggap sebagai penyebal atau bidaah. Dengan cara itu,
secara kultural warga nahdliyin berhasil menyajikan lanskap budaya yang begitu
kaya dan dinamis.
Hal mendesak dalam kerja kebudayaan terkait seni, tradisi
dan warisan budaya adalah dinamisasi dan pemeliharaan. Dinamisasi artinya
meletakkan seni dan tradisi bukan sebagai benda mati dan tidak boleh berubah,
namun harus didalogkan dan dikembangkan, terutama agar tetap mempuayi pijakan
sosial. Ini terutama pada warisan budaya yang bersifat intangible, seperti tari, musik, dan sebagainya. Sementara dalam
hal benda-benda warisan budaya, hal medesaknya adalah pemeliharaan, dalam hal
ini terkait dengan pemeliharaan situs-situs, artefak bersejarah. Praktik kegamaan
warga nahdliyn seperti ziarah wali dan pandangan mengenai “amal jariyah”
sejatinya bisa menjadi pijakan dalam pemeliharaan/konservasi warisan budaya
yang tangible ini.
Problemnya adalah pertama, selama puluhan tahun, praktik
seni dan tradisi mengalami involusi luar biasa. Seni dan tradisi hanya
diperlakukan sebagai tontonan dan dihilangkan aspek otonominya sehingga lenyap
pula aspek kekuatan sosialnya. Seni dan tradisi menjadi berjarak dengan problem-problem
keseharian yang dialami warga. Kedua,
intervensi pasar. Faktor terbesarnya adalah berkembangnya ideologi pasar bebas yang sudah
semakin kuat dan mengglobal. Hingga saat ini negara Republik Indonesia berada
dalam cengkeraman kekuatan ideologi pasar bebas tersebut. Nilai-nilai masa lalu
dianggap sebagai nilai romantisme belaka. Kehidupan hari ini terpisah dengan
kehidupan masa lalu. Akibat semua aspek kehidupan diserahkan pada pasar, tentu
saja ukurannya adalah diterima oleh pasar atau tidak. Termasuk kebudayaan
kemudian dengan mudah dijadikan komoditas yang dapat dijual dan masuk dalam
pasar. Sehingga kesenian yang berbasis pada spiritualitas yang dimiliki oleh
kalangan pesantren, tidak berkembang dengan baik.
Ketiga, mulai hilang dan
lunturnya sikap terbuka kalangan pesantren/nahdliyin terhadap seni dan tradisi.
Jika di masa lalu diandaikan, misalnya, para wali sangat akrab degan seni dan
tradisi lokal, di masa kini sangat jarang dijumpai pesantren yang akrab dengan
seni dan tradisi lokal. Kini, tidak banyak pesantren, misalnya, yang
mengembangkan wayang, gamelan, atau bentuk budaya lokal lainnya.
Pertanyaan
Pemandu Diskusi:
1. Secara kelembagaan bagaimana NU mengambil peran penting sebagai pelaku
dalam revitalisasi tradisi?
2. Bagaimana menumbuhkan ruang agar anak muda NU berkontribusi dalam semangat
kreasi kebudayaan di komunitas NU?
3. Bagaimana NU secara kelembagaan bisa mengadvokasi dan merivitalisasi seni,
tradisi, dan warisan budaya (heritage)?
4.
Bagaimana anak
muda NU bisa menangkap
gerak budaya masyarakat lokal dan memanfaatkan ruang-ruang
kultural yang masih hidup dan berkembang di masyarakat, seperti ruang kesenian
dan lain sebagainya.
Bagaimana mengembangkan sikap otonom,
independen, dan terbuka untuk
menerima ide dari luar untuk
mengembangkan dan merivitalisasi seni, tradisi, dan warisan budaya?
No comments:
Post a Comment